Pages

Friday, July 30, 2010

Rangking terakhir siapa pak?

Ini cerita terjadi sekitaran Desember 1995. Tes sumatif telah seminggu rampung dan wajah-wajah siswa terlihat sumringah menyambut liburan semester yang, walaupun hanya selama seminggu atau dua, telah menanti untuk pulang ke kampung halaman masing-masing atau, bagi yang berasal dari luar Jawa, ikut menghabiskan liburan bersama teman sejawat di kampung halaman mereka. Liburan yang pendek ini merupakan liburan pertama bagi siswa kelas satu TN6. Bagi kelas tiga TN4, liburan ini genap setahun setelah kejadian tidak
menyenangkan dengan abang TN3 menjelang liburan semester ganjil tahun 1994.
Jadi sedikit banyak bagi TN4, khususnya asal Panda V Jakarta yang menggunakan kereta api, liburan ini merupakan kesempatan yang sangat tepat untuk membina hubungan baik dengan adik-adik TN5 dan TN6 sambil melupakan hubungan dengan TN3 yang sampai mereka lulus dalam keadaan kurang harmonis.

Sebelum siswa dipulangkan untuk liburan setelah lima bulan lebih mengikuti kegiatan asrama setiap hari dan setiap malam, saatnya setiap kelas dikumpulkan oleh wali kelas masing-masing untuk diberikan wejangan dan oleh-oleh rapor hasil belajar selama semester ganjil tersebut, yang bagi sebagian siswa mungkin tidak pernah disampaikan kepada orang tuanya. Alkisah kelas 3 Fisika 3 telah lengkap duduk sok manis di bangku masing-masing ketika salah seorang wali kelas mereka, pak Pius Sumarijanto, dengan wajah yang terlihat kurang sumringah berdiri di belakang meja pamong tepat di depan barisan tengah kursi siswa. Setumpuk rapor 40 siswa yang ada di depannya dengan sangat mencolok menantang untuk segera diberikan.

Pak Pius, tetap dengan wajah serius dan dahi sedikit berkerenyit, menyampaikan ke siswa bahwa rata-rata kelas 3 Fisika 3 bukan yang tertinggi di antara kelas 3 Fisika yang lain. Bahkan nilai tertinggi (ranking pertama) di kelas 3 Fisika 3 tersebut pun di luar lima besar nilai tertinggi kelas 3 semester tersebut. Pikiranku langsung melayang mebayangkan nilai Ludfy atau Gusur yang menurutku merupakan kandidat paling pas peraih nilai tertinggi di kelas tersebut. Setelah itu mungkin diikuti oleh Azmi, Hendra, Joko, dan Dwi. Paling bagus nilaiku setelah mereka. Jadi terbayang bahwa di antara teman-teman seangkatanku aku di urutan yang ga cukup kalau diukur pakai jari.

Entah pak Pius berbicara apa lagi, sepertinya wanti-wanti agar siswa-siswanya, yang memang sangat bandel untuk ukuran anak-anak Fisika, belajar lebih giat dan rajin lagi kalau mau nilainya tidak sejelek sekarang. Aku teringat beberapa kebandelan 3 Fisika 3, setidaknya segerombolan pemberontak di dalamnya, ketika pak Parwin, pamong fisika yang unik tersebut, kembali ke ruang pamong dan bersikeras tidak mau mengajar kelas 3 Fisika 3 lagi karena hanya kurang dari lima siswa yang mengerjakan PR fisika. Alhasil semua siswa kelas tersebut sepakat untuk mengirimkan Rasyid, sebagai siswa yang paling baik dikenal dan dekat dengan para pamong dan Kepsek Brigjen (Hor) Drs. Sadja Muljaredja, untuk merayu pak Parwin agar bersedia kembali mengajar di kelas 3 Fisika 3 tersebut. Seingatku Ludfy, yang memang tidak memiliki catatan buruk sebagai siswa, juga ikut bersama Rasyid dalam upaya membujuk pamong fisika yang unik satu itu. Singkat cerita beliau bersedia kembali mengajar kami dengan sebelumnya seluruh buku saku siswa 3 Fisika 3 yang tidak mengerjakan PR dikumpulkan untuk diberikan catatan pelanggaran yang ditandatangani beliau. Sejarah telah mencatat bahwa tiga puluhan siswa 3 Fisika 3 TN4 punya catatan pelanggaran di dalam buku sakunya!

Lain waktu pelanggaran yang dilakukan oleh oknum 3 Fisika 3 adalah ketika mendengarkan siaran horor radio malam jumat secara berjamaah di kamar Arief dan Purba. Koor teriakan kaget jamaah ini sampai mengundang pak Widjongko masuk ke dalam graha dan memarahi para siswa. Pernah juga, lagi-lagi, oknum 3 Fisika 3 boikot menonton pertunjukkan wayang dengan lakon Parikeshit Winisudha. Mereka justru main ke rumah wali kelas, pak Pius, yang saat itu hanya ada istri dan kedua anaknya. Ketimbang menonton wayang yang asli Indonesia, mereka memilih menonton film aksi Hollywood. Sangat tidak nasionalis!:D Bu Wati, istri pak Pius, bahkan menjamu para begundal ini dengan mie rebus campur telor yang sangat enak dan berbagai makanan ringan lain. Sambil nonton, makan dan minum enak. Sesekali bercanda dengan kedua anak beliau yang salah satunya kelak jadi adik siswa TN juga. Ketika tiba-tiba pak Pius pulang ke rumahnya dari GSG tempat pagelaran wayang tersebut, betapa gusarnya beliau melihat para siswanya justru berada di rumahnya sementara beliau ke GSG. Namun para begundal tersebut hanya senyum mesem dan sedikit cekikikan. Hayo yang merasa sebagai begundal silakan ngaku.:)

Setelah selesai memberikan wejangan dan ceramah kepada para siswa didiknya pada momen pembagian rapor tersebut, seperti biasa pak Pius bertanya kepada siswa jika ada yang mau ditanyakan. Sementara sebagian besar siswa menundukkan wajahnya ke arah meja, entah karena mengantuk atau agak segan karena pak Pius sedang bad mood, seorang siswa berinisial DRC dengan nomor absen 13 yang duduk di barisan tengah mengangkat telunjuknya dengan ragu-ragu sambil menyembunyikan mukanya di belakang badan siswa DWA yang pendek dan memang takkan sanggup menyembunyikan wajah lebar dan mesum siswa DRC tersebut. Bahkan rambut, alis, dan bulu-bulu lain siswa DWA yang tebal pun tidak sanggup membantu menyembunyikan. Badannya yang ikut bergoyang seperti cacing kepanasan karena tidak sanggup menahan gerakan kepalanya yang bersungut-sungut ditambah lagi jari telunjuknya yang antara ingin diangkat setinggi-tingginya atau ditarik kembali ke atas meja langsung menarik perhatian pak Pius. Dengan sedikit keras dan ekspresi yang tidak berubah pak Pius berkata, "Ya kamu, Don. Mau tanya apa?" mempersilakan siswa DRC untuk menyampaikan pertanyaannya. Dengan gaya khasnya yang bersungut-sungut sambil mesem-mesem siswa DRC bertanya, "Ranking terakhirnya siapa, pak?" Aku yang saat itu duduk di depan barisan paling kiri dekat jendela merasa aneh kenapa siswa DRC terpikir untuk menanyakan hal itu. Sangat lumrah untuk bertanya siapa ranking pertama, tapi tidak ranking terakhir. Setidaknya menurutku.

Dari lokasi tempat dudukku di pojok kiri depan itu, dengan posisi duduk menyamping pandanganku dapat menyapu hampir seluruh kelas. Aku melihat raut muka pak Pius semakin sebal dan kernyit dahinya semakin banyak. Serta merta beliau angkat tangan kanannya dan menunjuk ke arah muka siswa DRC sambil dengan intonasi lantang campur marah dan kesal berseru, "Ya kamu itu, Don!" Suara itu dengan cepat masuk ke dalam lorong liang telingaku. Pantulan-pantulannya menghasilkan resultansi positif yang memperkuat rangkaian gelombang traversal tersebut dan pada saat yang bersama-sama mencapai gendang telinga, si reseptor terdepan untuk informasi verbal. Sistem biologis dan kimiawi pada gendang telingaku menyulapnya menjadi transduser suara ke gelombang elektrik yang dapat dihantarkan oleh sistem neuron ke otak, untuk kemudian prosesor yang jauh lebih kompleks dan clocking lebih tinggi dari itanium quadcore 64/128 bit pada server manapun itu memprosesnya dan menambahkan segala informasi dalam non-volatile memory pada media penyimpanan otak untuk menghasilkan output yang disampaikan ke lidah, mulut, dan otot diafragma paru-paruku, tentunya juga melalui sistem neuron aktif dalam bentuk pulsa-pulsa gelombang elektrik. Sekali lagi transduser bekerja, namun kali ini sinyal dari otak tersebut diubah oleh lidah, mulut, dan otot diafragma paru-paruku menjadi suara tawa tergelak terbahak di tengah kesunyian kelas yang entah sedang terngantuk-ngantuk atau takut karena di depannya sedang berdiri wali kelas yang tidak sedang ingin bercanda.

Kembali telingaku bekerja menangkap hanya ada dua nada suara terdengar, dan keduanya dalam bentuk gelak tawa yang berkesenangan karena mendapatkan orang lain dalam posisi yang lebih buruk dari si sumber tawa. Serta merta hasil pemrosesan otakku memerintahkan untuk menghentikan tawa yang sempat terburai dalam periode dua-tiga detik tersebut. Namun hal yang sama tidak terjadi pada sumber tawa yang lain. Dia masih tergelak dalam jangka waktu yang cukup lama untukku dapat mencari dari mana asalnya. Kulihat siswa MYK masih berusaha meredam gelak tawanya karena pertanyaan dan jawaban yang mungkin aneh dan lucu buatnya, juga buatku. Beruntung baginya pak Pius, sang wali kelas, tidak tergerak untuk marah dan menghukumnya. Memang aku dan siswa MYK merupakan salah dua yang paling sering berkonfrontasi dengan siswa DRC, jadi harap dimaklumi. Siswa DRC pun semakin bersungut-sungut dengan mulutnya yang membulat terkatup bagai kloaka.

by: dikoe

No comments: